Sebenarnya, Ku Tak Tahu Apa yang Telah Ku Ketik

Membaca sebuah karya tulis adalah kegiatan yang bikin depresi.

Bagaimana penulis memperkenalkan karakter-karakter, membangun alur dan setting, menyusun plot, memperlihatkan sesuatu dari tindakan dan sudut pandang karakter...

Bagaimana perlahan-lahan pembaca dibawa masuk kedalam dunia dalam tulisan, paragraf demi paragraf, chapter demi chapter, tense mulai dihidangkan melalui konflik-konflik kecil dan penyelesaiannya, konflik-konflik intra karakter, antar karakter, atau karakter dengan lingkungannya, serta klimaks konflik utama...

Bagaimana selangkah demi selangkah, pembaca dibuat terpesona sekaligus penasaran mengenai apa yang akan mereka baca pada kata berikutnya. Pada kalimat berikutnya. Pada paragraf selanjutnya.

Pada halaman selanjutnya.




Pada chapter berikutnya...


...Hingga konflik diselesaikan satu persatu.

Serta bagaimana ketika pembaca sudah begitu begitu attached dengan dimensi parallel yg diciptakan tersebut, penulis mengakhiri ceritanya.

The End. Fin. Tamat.

Tirai diturunkan. Plot cerita diakhiri.
Dunia alternatif tersebut dimatikan. Pembaca dilempar kembali ke dunia nyata.

Memang, semua buku, pasti ada endingnya. Ada halaman terakhirnya, (bahkan kitab suci agama yang 'katanya' kata-kata tuhan pun ada halaman terakhirnya. Not really that great, huh?)
tapi, tamatnya sebuah karya dimana pembaca sudah begitu connected dengan situasi dan karakternya ini yang
menimbulkan rasa depresi (Well, shitty ending aside, that's out of topic).

While on the contrary, sbuah karya tulis yang bisa membuat pembaca depresi karena merasa kehilangan pasca membacanya habis, pasti merupakan karya yang ditulis dengan sangat apik. Dilemma depresi yang bikin depresi.


..seandainya ada sebuah buku yang tidak akan habis dibaca, A book with endless chapters, a true never ending story..

..Atau setidaknya, dalam konteks yang lebih realis namun simbolis, sebuah tulisan yang tidak diakhiri dengan tanda titik, tetapi dengan tanda koma,

Comments

Popular Posts